“Terdengarlah sebuah
kabar yang mengguncangkan langit dan bumi. Kabar itu berasal dari dunia
binatang. Menurut cerita, para binatang besar ingin membuat sekolah untuk para
binatang kecil. Mereka, para binatang besar itu, berencana menciptakan sebuah
sekolah yang di dalamnya akan diajarkan mata pelajaran memanjat, terbang,
berlari, berenang, dan menggali.
Anehnya, mereka tidak dapat mengambil kata sepakat tentang
subjek mana yang paling penting. Mereka akhirnya memutuskan agar semua murid
mengikuti seluruh mata pelajaran yang diajarkan. Jadi, setiap murid harus
mengikuti mata pelajaran memanjat, terbang, berlari, berenang, dan menggali.
Sekolah pun dibuka dan menerima murid dari
pelosok-pelosok hutan. Saat awal-awal dikabarkan bahwa sekolah berjalan lancar.
Seluruh murid dan pengajar di sekolah itu menikmati segala kebaruan dan
keceriaan. Hingga tibalah pada suatu hari yang mengubah keadaan sekolah itu.
Tersebutlah salah satu murid bernama Kelinci. Kelinci
jelas adalah binatang yang piawai berlari. Ketika mengikuti kelas berenang,
Kelinci ini hampir tenggelam. Pengalaman mengikuti kelas berenang ternyata
mengguncang batinnya. Lantaran sibuk mengurusi pelajaran berenang, si Kelinci
ini pun tak pernah lagi dapat berlari secepat sebelumnya.
Hal yang serupa dialami oleh siswa yang bernama Elang.
Elang, jelas, sangat pandai terbang. Namun, ketika mengikuti kelas menggali, si
Elang ini tidak mampu menjalankan tugas-tugas yang diberikan kepadanya.
Akhirnya, ia pun harus mengikuti les perbaikan menggali. Les itu ternyata
menyita waktunya sehingga ia pun melupakan cara terbang yang sebelumnya sangat
dikuasainya.
Demikianlah, kesulitan demi kesulitan ternyata melanda
juga ke diri binatang-bintang lain, seperti bebek, burung pipit, bunglon, ular,
dan binatang-binatang kecil lain. Para binatang kecil itu tidak mempunyai
kesempatan lagi untuk berprestasi dalam bidang keahlian mereka masing-masing.
Ini lantaran mereka dipaksakan melakukan hal-hal yang tidak menghargai sifat
alami mereka.
Setelah kejadian yang dialami para siswa, ada kejadian
lain yang memusingkan pengelola sekolah yaitu para binatang besar yang menjadi
pengajar, terlalu sering izin dengan alasan mencari makanan untuk anak-anaknya
di rumah. Akhirnya sekolah pun tidak kondusif dan terancam bubar.”
Dongeng di atas merupakan salah satu kisah yang menarik
dalam dunia pendidikan kita untuk kita ambil hikmah dan pelajaran juga latar
belakang pembahasan selanjutnya.
Sebelum
pergi ke aspek Sekolah Impian baiknya kita telusuri dulu apa itu pengertian sekolah.
Sekolah itu merupakan alat sosial. Yang perlu digarisbawahi adalah sekolah
merupakan amanat masyarakat yang dibuat dari masyarakat, oleh masyarakat dan
untuk masyarakat. Jika dilihat potensinya sekolah merupakan simbiosis
mutualisme yang berpengaruh bagi semua pihak. Perlu diingat juga sekolah—lebih
tepatnya pendidikan—merupakan pondasi kuat untuk pembangunan sebuah bangsa.
Sekolah impian bisa didefinisikan sebagai sekolah yang
dijadikan teladan oleh sekolah lain karena memiliki kualitas yang baik dan
memiliki output yang berkualitas. Yang menjadi masalah sekarang adalah apa saja
kriteria yang harus dimiliki sehingga suatu sekolah dikatakan menjadi sekolah
impian. Di sini saya akan mencoba menerangkan gagasan saya mengenai kriteria
sekolah impian.
Hal yang pertama yang harus dimiliki sekolah adalah
sekolah tersebut memiliki visi, misi, tujuan jelas. Tidak hanya idealis tapi juga
realistis dan dapat dijangkau dengan langkah-langkah strategis. Hal ini penting
karena menjadi pedoman awal masyarakat dalam memilih sekolah juga patokan bagi
warga sekolah sebagai cita-cita yang akan dicapai.
Selanjutnya, hal yang kedua yang penting dimiliki,
sekolah itu harus memiliki konsep pembentukan karakter yang baik. Karena inilah
salah satu konsep terpenting tujuan pendidikan di Indonesia. Pembentukan
kepribadian diawali teladan yang baik dari pimpinan sekolah kemudian diturunkan
kepada guru dan teladan guru inilah yang menyebarkan teladannya kepada para
siswanya. Hal terpenting yang harus terbentuk dari pembentukan karakter ini
adalah nilai-nilai kejujuran yang kini mulai terkikis—bahkan hampir punah—yang
menyebabkan tidak berkembangnya suatu negara. Salah satu hal yang sering
diakukan adalah budaya menyontek yang sering dilakukan oleh sejumlah siswa.
Maka tak heranlah jika kini pemerintah—khususnya KPK—kewalahan menangani
korupsi di Indonesia lah wong dari
kecilnya saja terbiasa nyontek maka perilaku KKN saat usianya sudah dewasa
menjadi hal yang tidak aneh. Di sinilah peran sekolah sebagai pembentuk
karakter diuji. Kadang-kadang saya
sering berpikir dalam hati untuk apa sekolah itu mengadakan yang namanya Masa
Orientasi Sekolah—selanjutnya disebut MOS— jika nilai dan manfaat yang
dihasilkannya—lebih jauh lagi output kepribadian anak—kurang memuaskan bahkan
tidak mengalami peningkatan karena dilaksanakan hanya dalam waktu yang singkat.
Saran saya, untuk meningkatkan kualitas
karakter maka yang namanya MOS itu sebaiknya berlangsung selama satu semester.
Jadi dalam satu tahun itu sekolah membuat panitia khusus yang tugasnya
mengevaluasi dan mengendalikan akhlak para calon siswa sehingga sesuai dengan
apa yang menjadi cita-cita sekolah. Dengan demikian jika ada pelanggaran
sedikit saja calon siswa dimungkinkan untuk dikeluarkan atau dipindahkan dari
sekolahnya. Ini akan mendorong siswa baru untuk berbuat sesuai yang diharapkan.
Selanjutnya ketika selesai MOS maka calon siswa dinyatakan sebagai siswa resmi
sekolah, maka sekolah harus berkonsentrasi untuk mempertahankan karakter yang
dimiliki dengan membuat semacam Buku Harian—tapi bukan berisi catatan
pelanggaran yang ditonjolkan—yaitu buku amalan sehari-hari kegiatan siswa
prestatif artinya setiap kegiatan yang bermanfaat bahkan hingga membuang sampah
sekalipun patut diberikan poin positif. Nah sekarang konteks penilaian kita
coba balik yaitu kalau biasanya ketika poin (-200) siswa terancam dikeluarkan
maka seharusnya polanya diganti menjadi poin minimal misalkan (+500) dikatakan
berakhlak biasa, {x > (+500)} akhlak terpuji, {(+200) ≤ x < (+500)} kurang
terpuji, ketika mencapai {x <
(+200)} baru para siswa terancam dikeluarkan, kemudian kita pun mesti
memberikan penghargaan pada siswa yang memiliki poin tertinggi, maka sudah
sepantasnya kalau sepuluh orang terpuji tiap angkatan diberikan penghargaan
setiap bulannya. Kalau pola penilaiannya seperti ini saya kira para siswa
mendengar kata “peraturan” itu tidak menjadi ketakutan, melainkan menjadi
semangat untuk melaksanakan kebaikan dan siswa enjoy untuk menaati peraturan karena orientasinya bukan pada
pelanggaran melainkan negasi dari elanggaran tersebut. Itu mungkin salah satu
contoh sederhana dari pola pengembangan karakter dan tentu saja masih banyak
yang bisa dikembangkan.
Ketiga, kriteria sekolah impian itu adalah sekolah yang
dapat mengembangkan bakat dan minat siswanya. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Bakat adalah dasar yang dibawa dari lahir sedangkan Minat adalah
kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu. Baik, jika kita kembali kepada
konteks dongeng di awal, Kancil dan Elang bukannya tidak bisa belajar atau
bodoh, melainkan bahwa setiap individu itu memiliki pendekatan yang
berbeda-beda. Maka di sini diperlukan peran guru dalam mengetahui potensi
terbesar murid-muridnya. Thomas Armstrong dalam Teori Kecerdasan Majemuk
menyebutkan bahwa ada delapan strategi pengajaran diantaranya pengajaran untuk
kecerdasan linguistik, pengajaran untuk kecerdasan matematis-logis, pengajaran
untuk kecerdasan spasial, pengajaran untuk kecerdasan kinestetis, pengajaran
untuk kecerdasan musik, pengajaran untuk kecerdasan interpersonal, pengajaran
untuk kecerdasan intrapersonal, pengajaran untuk kecerdasan naturalis.(Untuk
lebih lanjut silahkan baca Sekolah Para Juara; Menerapkan Multiple Intelligences
Di Dunia Pendidikan karangan Thomas Armstrong terbitan Kaifa tahun 2003)
Masing-masing strategi pengajaran memiliki konsep-konsep tersendiri dalam
pengajarannya. Oleh karena itu seorang guru harus menguasai dan mengetahui
kecerdasan dominan dari setiap anak didiknya. Selain itu jika ada minat siswa
dalam suatu hal maka sekolah impian senantiasa menyalurkannya dan disinilah
mungkin fungsi trilogi pendidikan ala Ki Hajar Dewantara bisa digunakan
diantaranya Ing Ngarso Sing Tuladha, Ing
Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani.
Keempat, kriteria sekolah impian menurut saya adalah
sekolah yang tidak berorientasi pada nilai. Tersambung dari ide nomor satu
bahwa nilai inilah yang membuat siswa-siswa kita ini memiliki sikap curang,
suka menyontek, menghalalkan segala cara, dan pribadi yang mudah stress apabila
keinginannya tidak tercapai. Ini PR kita bersama,dan saya berpendapat nilai
memang bukanlah segala-galanya, tapi dengan
kondisi sekarang ini segala-segalanya adalah nilai. Kita harus kembali
kepada substansi awal bahwa yang kita cari dalam dunia pendidikan ini adalah
keterampilan dan kompetensi yang akan digunakan di masa kini dan masa yang akan
datang. Salah satu hal yang saya pikirkan adalah konsep pendidikan sekolah
dasar dan menengah kita samakan saja dengan konsep di perguruan tinggi, artinya
diberlakukan SKS dan nilai diberlakukan dengan huruf. Ini mungkin bisa
dijadikan solusi terbaik untuk akhir-akhir ini, dan mungkin Ujian Nasional itu
perlu dikaji kembali keberadaannya.
Saya sepakat dengan kutipan guru saya yang selalu saya
ingat bahwa “Ujian itu bukanlah segalanya karena ketika kita tidak lulus UN masih ada paket C dan meski lulus UN pun
tidak akan menjamin kita akan sukses di kemudian hari.” Ada lanjutannya lagi lho “ Ikut UN juga tidak wajib ini kan?”
Kalu dilihat atau didengar memang terasa aneh tapi kalau dihayati memang ada
benarnya juga bahwa kita tidak mesti harus selesai tepat waktu, permasalahannya
ketika kita sudah dinyatakan lulus, apakah kita memiliki kompetensi yang cukup
untuk melanjutkan ke perguruan tinggi atau bahkan bekerja dalam suatu instansi?
Yah mungkin ini bisa menjadi renungan kita bersama yang pasti sekolah impian
menurut saya tidak harus selalu berorientasi kepada nilai.
Kelima, kriteria sekolah impian adalah sekolah yang
biayanya dapat terjangkau oleh siswa-siswanya. Saya sangat mengapresiasi kepada
sebuah perguruan tinggi negeri di ibukota yang memberlakukan Biaya Operasonal
Pendidikan Berkeadilan(selanjutnya disebut BOP Berkeadilan). Dalam BOP
Berkeadilan terjadi saling mengerti dan menghargai artinya ada subsidi silang
diantara peserta didik. Bahkan dengan BOP Berkeadilan ini siswa yang dalam
keadaannya dalam kondisi kurang beruntung dimungkinkan mendapat beasiswa. Ada
baiknya kebijakan ini ditiru oleh para sekolah-sekolah yang ada.
Selanjutnya kriteria keenam, sebuah sekolah impian harus dapat menjamin kesejahteraan gurunya.
Jika melihat kembali dongeng di awal kita bisa mencermati bahwa pengelola
sekolah merasa kebingungan karena para binatang besar yang menjadi gurunya
banyak yang izin karena akan mencari makanan untuk keluarganya. Jadi disini
kita harus memiliki sikap toleransi dan saling mengerti di satu sisi kita harus memperhatikan
keadilan dalam penentuan iuran bagi siswa tapi di sisi lain kita juga harus
memikirkan kesejahteraan guru. Mengapa guru harus terjamin kesejahteraanya? Ini
karena fokus perhatian seorang guru tidak hanya kepada siswa atau anak didiknya
di sekolah, mereka masih harus memikirkan kehidupan pribadi dan keluarganya.
Artinya jika kesejahteraan terjamin maka fokus guru untuk mengajar pun bisa
terjamin dan ini sangat berakibat kepada output anak didik.
Terakhir, kriteria yang tidak bisa dipungkiri bahwa
sebuah sekolah impian sudah sewajarnya untuk memiliki sarana dan prasarana yang
lengkap. Kriteria ketujuh ini menjadi pelengkap enam kriteria sebelumnya
sehingga membuat siswa nyaman dan dapat mengeksplorasi segala hal yang
berkaitan dengan pendidikan dengan mudah.
Tujuh kriteria di atas tidak akan tercapai tanpa ada
kerjasama dari semua pihak yang bersangkutan. Tak dapat dipungkiri juga bahwa
untuk menemukan sekolah impian itu sangat sulit dan hampir tidak ada, tapi ini
bukan berarti kita tidak bisa membangunnya, karena kita itu adalah makhluk
Allah yang senantiasa berpikir apalagi niat kita adalah niat yang tulus maka
selalu ingat bahwa Allah berfirman dalam Quran:
“Wahai orang-orang yang
beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan
meneguhkan kedudukanmu” (QS. Muhammad ayat 7)
“Sesungguhnya
urusan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu Dia hanya berkata kepadanya,
“Jadilah!” Maka jadilah sesuatu itu” (QS. Yasin ayat 82)
Saya memberi judul di atas adalah “Sekolah Impian untuk
Para Pemimpi-N” karena sesungguhnya apabila sekolah impian dengan kriteria di
atas terpenuhi saya yakin sekolah tersebut dapat menghasilkan output yang baik
yaitu para pemimpi-pemimpi yang memiliki huruf N di belakangnya. Semua orang di
dunia ini terlahir sebagai dan untuk menjadi pemimpin dan secara kebetulan
dalam perbendaharaan bahasa Indonesia ada sebuah kecocokan dan kedekatan antara
Pemimpi dan Pemimpin , dan memang
pemimpin itu berawal dari pemimpi yang memiliki huruf N di belakangnya dimana N
itu adalah sebuah kerja keras dan perjuangan yang dapat merubah mimpi menjadi
kenyataan.
Barangkali kriteria-kriteria di atas belum terpenuhi di
sekolah-sekolah teman-teman, tapi kita tetap mesti bersyukur, kita telah
diberikan kekuatan oleh Allah untuk bersekolah dan tentu para pengelola sekolah
juga tetap berusaha mengembangkan sekolahnya menuju ke arah yang lebih baik.
Intinya kita harus bersyukur dengan sekolah kita sekarang, dan tetap berusaha
sekuat tenaga mengembangkan, menjaga dan mengharumkan nama baik sekolah kita.
"…boleh
jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula)
kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang
kamu tidak Mengetahui." (QS: Al Baqarah: 216)
Tasikmalaya, 20 Desember
2011
Dipersembahkan untuk kedua
orang tua kandungku, Agung Asriadi dan Ika Sartika.
Untuk almamaterku tercinta.
Untuk para guru
inspiratorku Pak In-in Kadarsolihin, Pak Agus Sulistyo, Pak Asep Solihin, Bu
Maya Mulyani, Bu Yayu Faturrakhman, Pak Marno Sumarno dan guru super lainnya yang
tak bisa disebutkan satu persatu.
Untuk para teman
sekelasku di XII IPA 1, Ibu KM (Cindy C), Achmad, Achel, Agus, Anggi, Byas,
Cecep, Cherya, Citra, Dini, Farah, Husni, Igar,
Inayatul, Jamilah, Jihan, Lika, Nisvi, Rafdy, Rahmi, Rini, Salman, Sri
Ayu, Tia, Yuli.*Diikutsertakan dalam Lomba Esai tingkat SMA Al-Muttaqin saat pekan kreativitas sekolah. Memperoleh predikat juara 1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar