“Dialah (Allah) yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian, siapa di antara kalian yang terbaik amalnya…” (Al Mulk 2)
Tahun ini saya diamanahi untuk menjadi ketua panitia di salah satu event di tingkat fakultas. Saya menyadari bahwa diantara hal-hal yang mendukung kesuksesan berhasilnya suatu event—terutama lembaga yang bergerak di wilayah da’awi— selain adanya pemahaman urgensi acara dari setiap panitia dan terciptanya kesolidan sebuah tim, adalah kualitas ruhiyah. Karena semakin jernih hati, kata Aa Gym, akan semakin mudah pula ia membaca hikmah, semakin mudah berbuat kebaikan, dan semakin indah akhlaqnya. Karena boleh jadi ketidaksuksesan sebuah proses adalah karena adanya dosa dari pelaku proses itu sendiri. Oleh karena itu sangat penting bagi kita menjaga ruh itu agar tetap hidup. Kualitas ruhiyah ini terejawantah melalui amalan-amalan wajib dan sunnah yang dilakukan oleh subjek dakwah dalam hal ini panitia.
Semakin mendekati tanggal acara, saya memandang perlu untuk mengevaluasi amalan ini setiap hari. Mungkin di dalam hati ada yang bilang “biarlah hanya kita saja yang tahu bagaimana amalan kita sendiri.” Tapi dari statement tadi saya jadi teringat bagaimana kisah antara Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab.
Oke itu prolog dari tulisan saya kali ini....
Diantara konsekuensi syahadat kita, kata Salim A. Fillah, adalah sebuah pendaftaran sebuah kompetisi. Dan Abu Bakar dan Umar adalah teladan kita bagaimana proses berfastabiqul khairat itu sangat indah.
Suatu kali usai sholat Shubuh, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menghadap ke arah sahabat-sahabatnya dengan penuh senyum. Binar matanya menye- jukkan. Disapukannya pandangan pada wajah mereka satu demi satu hingga semua merasakan hangatnya perhatian beliau.
“Siapa gerangan yang pagi ini dalam keadaan puasa?” tanya beliau.
“Ya Rasulallah, semalam aku tidak berniat puasa,” sahut ‘Umar, “..maka hari ini aku tidak shaum.”
Sang Nabi mengangguk pada ‘Umar lalu berpaling ke arah Abu Bakar dengan senyum makin lebar.
Yang ditatap tertunduk malu.
“Semalam aku juga belum berniat untuk berpuasa, wahai Nabi Allah,” kata Abu Bakar, “Tetapi pagi ini aku shiyam, insya Allah.”
“Segala puji bagi Alloh,” tukas Sang Nabi dengan wajah bercahaya.
“Siapa pula yang hari ini telah menjenguk orang sakit?” lanjut beliau.
“Duh Rasulullah,” ujar ‘Umar, “Kita belum keluar sejak kita sholat tadi. Bagaimana bisa ada yang telah menjenguk orang sakit?”
Para shahabat yang lain membenarkan ‘Umar dengan anggukan dan gumam.
“Adalah saudara kita ‘Abdurrahman ibn ‘Auf sakit, Ya Rasul,” tukas Abu Bakar tersipu-sipu,“..maka dalam perjalanan ke masjid tadi aku mampir sejenak untuk menjenguknya.”
Rasulullah kembali bertahmid dan mengangguk-anggukkan kepala.
“Dan siapa jugakah yang hari ini telah memberi makan fakir miskin?”
“Kami semua berada di sini sejak sholat berjama’ah tadi,” kembali ‘Umar menyambut. “Kami belum sempat melakukan derma dan sedekah, Ya Rosulallah.” Kali ini ‘Umar berkata sambil melirik Abu Bakar.
Tampak lelaki kurus jangkung itu memelengkungkan tubuhnya hingga wajahnya nyaris tak terlihat. Harap-harap cemas ‘Umar menanti Abu Bakar bicara. Tapi agaknya, kali ini Abu Bakar juga bungkam.
Suasana jadi sunyi.
“Bicaralah, wahai Abu Bakar!” tiba-tiba Sang Nabi memecah hening.
Abu Bakar tetap menunduk. “Aku malu, Ya Rosulallah,” katanya celingukan seperti tertuduh tak bisa mengelak. “Memang tadi di luar masjid kulihat seorang fakir sedang duduk menggigil. Di genggaman putraku ‘Abdurrahman ada sepotong roti. Maka kuambil ia dan kuberikan pada lelaki kelaparan itu.”
“Alhamdulillah. Alhamdulillah. Alhamdulillah…” kata Sang Rosul takjub. Beliau tampak lega.
Beliau terlihat bangga. Upaya-upaya ‘Umar untuk mengungguli Abu Bakar terus berlangsung di tiap kesempatan. Cinta di antara mereka telah saling menyengat dalam bentuk gelora untuk mempersembahkan yang terbaik bagi Allah dan Rasul-Nya.
Dalam perang Tabuk, seruan jihad harta disambut Umar dengan segera. Saat Rasulullah bertanya, berapa yang ia tonggalkan untuk keluarga,
Umar mengatakan dengan bangga, “Sebanyak yang aku serahkan pada Allah dan RasulNya.”
Namun ia tercenung saat pertanyaan yang sama ditujukan pada Abu Bakar, dan dijawab, “Cukuplah Allah dan RasulNya yang aku tinggalkan untuk keluargaku!”
Kemudian di suatu hari, Umar mengawasi Abu Bakar di waktu fajar. Sesuatu telah menarik perhatian Umar. Saat itu Abu Bakar pergi ke pinggiran kota Madinah setelah shalat subuh. Abu Bakar mendatangi sebuah gubuk kecil beberapa saat, lalu dia pulang kembali ke rumahnya. Umar tidak mengetahui apa yang ada di dalam gubuk itu dan apa yang dilakukan Abu Bakar di sana. Umar mengetahui segala kebaikan yang dilakukan Abu Bakar kecuali rahasia urusan gubuk tersebut.
Hari-hari terus berjalan, Abu Bakar tetap mengunjungi gubuk kecil di pinggiran kota itu. Umar masih belum mengetahui apa yang dilakukan Abu Bakar di sana. Sampai akhirnya Umar memutuskan untuk masuk ke dalam gubuk itu sesaat setelah Abu Bakar meninggalkannya. Umar ingin melihat apa yang ada di dalam gubuk itu dengan mata kepalanya sendiri. Dia ingin mengetahui apa yang dilakukan oleh sahabatnya di situ.
Manakala Umar masuk ke dalam gubuk kecil itu, Umar mendapatkan seorang nenek tua yang lemah tanpa bisa bergerak. Nenek itu juga buta kedua matanya. Tidak ada sesuatu pun di dalam gubuk kecil itu. Umar tercengang dengan apa yang dilihatnya, dia ingin mengetahui ada hubungan apa nenek tua ini dengan Abu Bakar radhiallahu ‘anhu.
Umar bertanya, “Apa yang dilakukan laki-laki itu di sini?” Nenek menjawab, “Demi Allah, aku tidak mengetahui, wahai anakku. Setiap pagi dia datang, membersihkan rumahku ini dan menyapunya. Dia menyiapkan makanan untukku. Kemudian dia pergi tanpa berbicara apapun denganku.”
Umar menekuk kedua lututnya dan kedua matanya basah oleh air mata. Dia mengucapkan kalimatnya yang masyhur, “Sungguh, engkau telah membuat lelah khalifah sesudahmu wahai Abu Bakar.”
Di tiap amalku,” begitu ‘Umar ibn al-Khoththob satu ketika bercurah hati, “Aku selalu mencoba untuk bisa mengalahkan Abu Bakar.”
———
Hingga satu saat, Sang Nabi berkata, “Sesungguhnya surga memiliki banyak pintu. Dan seorang hamba akan dipanggil dari pintu yang mana ia lazimkan amalnya di sana.” Seorang ahli shalat akan dipanggil dari pintu shalat. Seorang ahli shaum akan dipanggil dari pintu ar-Royyan. Seorang dermawan akan dipanggil dari pintu shadaqah. Seorang yang lain akan dipanggil dari pintu haji dan umroh. Seorang yang lain mungkin dipanggil dari pintu jihad."
Atas penjelasan ini, Abu Bakar yang tertakjub bertanya dengan mata berkaca
“Ya Rosulullah,” ucapnya lembut, “Mungkinkah seorang hamba dipanggil dari lebih satu pintu di surga kelak?”
Semua orang terperangah. Dan Sang Nabi tersenyum, mengulaskan rasa manis di semua hati. “Ya,” sabdanya, “Bisa.” Abu Bakar menunduk. Air matanya berselancar lembut di pipi yang tirus. “Dan aku berharap,”lanjut Sang Nabi sambil sedetik menatap ke langit, “Salah satunya adalah engkau, hai Abu Bakar.” Dalam tatapan penuh cinta Rasul terkasih, Abu Bakar mendalamkan tunduknya. Dia tawadhu’. Dia khusyu’.
...Mari berfastabiqul khairat....